Kadang aku tak habis pikir, kenapa ada perempuan muslimah yang membenci atau bahkan menggugat poligami. Padahal tak ada yang salah dengan poligami. Yang salah adalah ketika para pria tidak bertanggung jawab dengan penuh dan tidak bisa adil terhadap para istrinya, itu bukan salah poligaminya, tapi salah orangnya.
Oke, aku bisa berkata begitu karena aku bisa merasakan bahagia nya menjadi madu alias istri ke dua terhadap suami yang saya cintai sepenuh hati. Dan ajaibnya, ia melamarku karena dorongan istrinya untuk mencari istri kedua. Asal tahu saja, istri pertamanya mandul sehingga ia merasa gelisah karena sudah beberapa tahun tak diberi momongan.
Awalnya ibuku tidak bisa menerima aku dinikahi seorang pria yang sudah beristri. Mengenai ayah, dia bias menerimanya. Apalagi ayahku tahu bahwa calon suamiku adalah seorang lelaki berakhlak baik.
Dan setelah pernikahan itu, aku merasakan bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga dan dinamikanya. Aku tak pernah malu menjadi istri kedua dari seorang pria yang saleh dan penuh tanggung jawab. Mengapa aku harus malu? Toh suamiku sangat mencintaiku dan menyayangiku sebagaimana ia mencintai istri petamanya. Ia selalu menjaga hubunganku dengan istri pertamanya baik. Atau bisa dibilang indah. Sering ia mengajak kami –istrinya- untuk sekadar jalan pagi atau belanja bersama di akhir pekan.
Bukan hanya relasi yang baik antara suami dan istri pertamanya yang biasa aku panggil teteh. Tapi bagaimana aku bisa merasakan rasa yang sebelumnya tak pernah aku duga. Bayangkan, istri pertama suamiku menganggapku layaknya adiknya. Ketika anak pertamaku lahir, ia turut bahagia dan bahkan sering mengasuh bayiku ketika aku sibuk. Tak segan ia membantu pekerjaan rumah tanggaku pasca melahirkan. Kebetulan rumah kami berdampingan.
Setelah anakku besar ditambah dengan lahirnya adik-adik anak pertamaku, teteh tak pernah menjauh dari kehidupanku. Ia menganggap anakku adalah anaknya sendiri. Sikapnya tak jauh dari sikap seorag ibu terhadap anak kandungnya sendiri.
Satu hal yang patut kau ketahui, aku dan istri pertama suamiku tak pernah menggunjingkan kekurangan suami kami. Apa yang harus kami gunjingkan? Sementara sedikit yang kami ketahui dari kekurangan suami kami atau bahkan mungkin suami kami terlalu sempurna di hadapan kami. Sungguh, aku berbagi cerita ini tak lain supaya bias menjadi pelajaran bagi para perempuan untuk tidak nyinyir dengan poligami. Jika kau merasa suamimu tidak adil, maka jangan salahkan poligami, tapi salahkan suamimu sendiri. Atau mungkin engkau sendiri yang terlalu menuntut dan terlalu lebay di hadapan suamimu? Wallahua’lam
0 Response to "Sebuah Kisah, Aku Bahagia Menjadi “Madu” Suamiku"
Post a Comment