Apa yang membuat kita bahagia di dunia? Jika ditulis jawabannya bisa puluhan bahkan ratusan. Mulai dari punya istri secantik Miss Universe sampai ingin memiliki kapal pesiar seperti Titanic. Banyak orang yang telah mengeluarkan biaya besar untuk hidup bahagia dengan membeli rumah dan mobil mewah, bertamasya keluar angkasa, sampai memelihara hewan-hewan langka kesukaannya.
Namun benarkah bahagia selalu identik dengan gemerlap dunia? Kita sering kali menganggap bahagia adalah sesuatu yang nampak didepan mata (materi). Sehingga secara tidak langsung dan terus menerus terbentuk dalam diri kita persepsi bahagia yang identik denga kemewahan dan 'suatu yang wah' lainnya. Dengan kata lain, jika keduniawian tersebut tidak lagi kita miliki, otomatis kita tidak lagi bahagia. Betul?
Sebenarnya dunia tidak pernah mengukir sejarah tentang orang yang mempersepsi kebahagian hidupnya dengan 'sesuatu yang berbau dunia,' dapat merasakan kebahagiaan hakiki. Faktanya, tidak sedikit diantara para penguasa, pejabat, pengusaha, dan kalangan jet set lainnya malah hidup 'menderita' karena terlena dengan kemewahan yang dimilikinya.
Kita tidak dilarang bahagia dengan memiliki mobil dan rumah mewah, memiliki banyak perusahaan, memiliki istri secantik Taylor Swift, atau mampu menyekolakan anaknya hingga manca negara. Tapi semua kepemilikan tersebut selayaknya kita syukuri sebagai anugrah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya, bukan satu-satunya sarana menuju puncak kebahagiaan.
Selama hidupnya, Rasulullah saw. adalah manusia yang paling bahagia meski beliau hidup dalam kesederhanaan, malah sering kali kekurangan. Beliau bisa tidak makan kenyang hingga beberapa hari lamanya. Menurut Aisyah r.a., Rasulullah saw. tidak pernah kenyang sepanjang tiga hari berturut-turut. Kalau mau beliau pasti makan kenyang, tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Fatimah r.a. pernah mendatangi ayahnya dengan membawa sepotong roti yang kasar. Kata beliau ke Fatimah r.a., "Inilah makanan pertama yang dimakan ayahmu sejak tiga hari yang lalu."
Hafsah yang notabene adalah istri Rasulullah saw. pernah ditanya ayahnya, Umar ibn Khattab r.a., tentang kehidupan suaminya.
"Ceritakan padaku tentang pakaian beliau," kata Umar.
Hafsah menjawab, "Beliau hanya memiliki dua baju warna merah yang biasa dipakai shalat jumat."
"Apa makanan beliau yang paling lezat?" Tanya Umar lagi.
"Makanan beliau yang paling lezat adalah roti dan tepung kasar yang dicelupkan minyak. Namun beliau menikmatinya dan membagikannya kepada orang lain."
Umar bertanya, "Bagaimana dengan alas tidur beliau?"
Hafah menjawab, "Sehelai kain tebal. Saat dingin, kain itu dilipat dua, saat panas kain itu dilipat empat, separuh untuk selimut dan separuh lagi untuk alas tidur."
Mengapa hidup dalam keadaan yang demikian memprihatinkan beliau tetap bahagia? Kuncinya adalah dengan selalu bersyukur. Orang yang bersyukur otomatis tidak pernah mengeluh karena hatinya lapang menerima setiap pemberian-Nya, sekecil apapun.
Penelitian tentang bahagia pernah diterbitkan dalam Journal of Positive Psychology. Sang peneliti, Yuna L. Ferguson dari knox College dan Kennon M. sheldon dari University of Missouri menemukan cara mudah untuk menemukan kebahagiaan, yaitu pikiran dan niat untuk menjadi bahagia. Penelitian ini membuktikan hanya dengan mencoba berpikir menjadi bahagia sudah cukup untuk meningkatkan rasa bahagia dalam hidup. Jadi tidak harus memiliki banyak kekayaan atau kedudukan.
Bagi orang yang beriman, bahagia adalah bersyukur atas anugrah nikmat pemberian-Nya, meskipun sedikit. Ia akan berterima kasih tanpa mengeluh, sebab ia yakin bahwa Allah Maha mengetahui setiap kondisi hamba-Nya. Bahkan ia semakin bersyukur ketika melihat dan merenungi kehidupan orang-orang kekurangan disekelilingnya. Jadi, bahagia itu sebenarnya soal persepsi saja, lalu mengapa kita mensyaratkan harus memiliki kemewahan duniawi?
0 Response to "Kisah Inspiratif : Bersyukur Membuat Kita Bahagia"
Post a Comment