Perjodohan tidak selamanya jadi derita


Sudah hampir sembilan belas tahun Euis (bukan nama sebenarnya) menjalani bahtera rumah tangga hasil perjodohan orangtua. Bila banyak anggapan perjodohan tidak membuat bahagia, justru dia merasa sebaliknya. Euis nyaman dengan keluarga kecilnya.

Wanita berusia 44 tahun ini, menceritakan awal mula perjodohan. Euis mengaku pendamping hidupnya sekarang merupakan permintaan sang ibu. Percaya atas pilihan itu, dia tidak mau berpikir lama. Apalagi umur kala itu sudah menginjak usia siap petik alias matang.

"Tahun 1997, Waktu itu umur saya 25, Saya menikah dengan pria pilihan ibu. Pria itu adalah anak dari teman ibu dan ayah," kata Euis ketika dihubungi merdeka.com, Jumat lalu.

Perjodohan dilakukan ibunya dijalani Euis dengan ikhlas. Sebab, permintaan sang ibu saat itu tidak ingin melihat anaknya menjadi perawan tua dan segera ingin menimang cucu. Maka itu, dua tahun setelah lulus kuliah Euis menerima tawaran perjodohan.

Beruntung, calon suami pilihan orangtuanya saat itu sudah bekerja sebagai guru sekolah swasta di Jakarta. Apalagi dari segi umur juga dianggap Euis sudah laik menjadi imamnya.

"Saya menerima karena ya sudahlah yakin pilihan ibu terbaik untuk saya," ungkapnya.

Pertemuan dengan suami pertama kali dilakukan tahun 1997 di rumahnya. Suasana perjodohan saat itu tegang dan canggung. Namun, pilihan Euis semakin bulat setelah ibunya memberi wejangan.

Setelah pertemuan, Euis sedikit bahagia dijodohkan oleh ibunya. Menurutnya jodoh dikenalkan ibunya memiliki sikap baik dan sopan. Semenjak awal bertemu di rumah, Euis tak menampik pilihan ibunya memang baik.

"Ibu bilang, ini jodoh yang bener buat kamu. Ibu mah cuma berharap kamu baik-baik sama nanti," ungkapnya.

Lima bulan menjajaki pendekatan dengan pria hasil perjodohan, ibunya lantas menanyakan kesiapan keduanya untuk ke jenjang lebih serius.

Dia pun pasrah. Semua diserahkan kepada orangtuanya. Meski begitu, lagi-lagi bukan berarti Euis merasa terpaksa. Ternyata dalam perjalanannya dia merasa nyaman dengan pilihan ibunya.

"Enggak ada paksaan sama sekali. Mungkin karena memang dia juga sayang sama saya," cerita Euis sambil tertawa mengingat pengalamannya.

Saling sayang dan punya dua anak

Satu tahun menikah, jalinan rumah tangga Euis dan suami berjalan damai dan menyenangkan. Seolah tidak ada tekanan perjodohan dalam rumah tangganya. Justru suaminya malah makin sayang.

"Enggak ada berantem-berantem gitu, awalnya dijodohin mungkin kita memang sudah sepakat saling sayang kali ya, Suami juga kayaknya langsung kecantol pas dijodohin sama saya. Ha-ha-ha," ungkap Euis.

Kebahagiaan bagi keluarga besar makin pecah ketika mendengar Euis tengah hamil. Tentu keadaan ini membuat orangtua dan mertuanya bahagia. Dia bahkan sempat tidak percaya hasil perjodohan ternyata mampu menghasilkan buah cinta.

"Selama satu tahun kira-kira 1998 Saya hamil, ibu seneng dong apalagi ibu mertua. Sempet enggak percaya kalau hasil perjodohan itu kayak gini, dikira saya hasil perjodohan jadi enggak bahagia," ungkapnya.

Anak pertama dari hasil perjodohan pun lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Kemudian, berselang tiga tahun, Euis kembali hamil buat kedua kali. "Saya hamil lagi tahun 2001 dan melahirkan anak kedua," tambah Euis.

Meski dalam ceritanya selalu bahagia dari hasil perjodohan, dia tidak menampik tetap memiliki masalah selama jalani hidup dengan suaminya. Namun, Euis percaya segala prahara rumah tangga pasti ada jalan keluarnya. Sehingga dia meyakini bahwa perjodohan bukan sebagai musibah.

"Walaupun cinta yang saya dasarnya dari perjodohan tapi yang namanya rumah tangga pasti ada bahagianya dan enggaknya. Memang orangtua tidak salah memilih jodoh untuk anaknya. Tinggal kita yang menjalani. Kalau enggak 'sreg' bilang aja enggak," terangnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perjodohan tidak selamanya jadi derita"

Post a Comment