Oleh: Ernydar Irfan
DI mobil suami shalih menunggu, sambil mulai mengendarai mobil ia menasihati istrinya yang medit.
“Ayang lain kali gak boleh begitu. Nawar jangan kebangetan. Kayak bapak itu dia kan nyari uang buat makan. Coba kamu pikir, berapa waktu yang dibutuhin buat nyangkok tanaman itu. Selama itu dia butuh makan, butuh hidup. Kamu bandingin sama 25 ribu itu, apa itu pantas? Nanti tanamanya berbuah kita makan, apa enak sementara pedagangnya jual sengsara? Jangan nyusahin orang yang cari makan. Kita kan alhamdulillah gak sampe kayak gitu nyari makan. Ya… lain kali gak boleh kayak gitu ya. Maaf yaa tadi aku bentak,” katanya sambil mengusap kepala istrinya.
Dia tidak tahu kalau Air mata istrinya mengalir bukan karena dibentak, tapi karena malu atas prilaku serakah dirinya sendiri, hingga hampir menghisap darah orang lain. Dia merasa malu pada Allah, malu pada bapak pedagang buah dan malu pada suami shalihnya atas kepicikannya.
Sejak saat itu, tak pernah lagi berani menawar pada para pedagang kecil. Mungkin kita adalah bagian dari doa mereka, semoga tangan kita adalah tangan yang terpilih meringankan beban orang lain.
Suamiku madrasah hatiku, terimakasih telah mengajariku banyak hal. I Love You Full. Uhibbukum Fillah.
0 Response to "Suamiku Madrasah Hatiku"
Post a Comment